B. Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang
adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung
sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya.
Klasifikasi hadits hasan : hasan lidzatih dan hasan
li-ghairih.
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi
syarat hadits hasan diatas.
Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak
sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak
salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain.
Hadits hasan derajadnya dibawah hadits sahih.
Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan adalah
hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang tertuduh
dusta dan tidak pula janggal (syadz).
Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya yaitu
hadits dhaif.
Menurut Imam Nawawi : Hadits dhaif yang banyak jalan dan
saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan. Yaitu hasan li-ghairih, tapi
ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka dengan
demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan kepada satu
per satunya.
C. Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau
lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.
Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah
hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a.
Hadits Maqbul : yaitu hadits yang
dapat diterima
b.
Hadits Mardud : yaitu hadits yang
ditolak dan tidak dapat diterima.
Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala macam
hadits dhaif
Klasifikasi hadits dhaif :
a.
Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama : Cacat pada rawi, tentang keadilan dan
kedlabitannya.
Kedua : Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi yang
digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Pertama, cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada 10
macam :
1.
Dusta, hadits dhaif yang karena
rawinya dusta, disebut Hadits maudlu
2.
Tertuduh dusta, hadits dhaif yang
rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3.
Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau
melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4.
Banyak salah, yaitu dalam
meriwayatkan haditsnya.
5.
Lengah dalam hafalan, hadits dhaif
yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6.
Banyak purbasangka (waham), hadits
dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits muallal.
7.
Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
-
Dengan penambahan suatu sisipan,
disebut hadits mudraj.
-
Dengan memutarbalikkan, disebut hadits
maqlub.
-
Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits
mudltharib.
-
Dengan perubahan syakal huruf,
disebut hadits muharraf.
-
Dengan perubahan titik-titik kata,
disebut hadits mushahhaf.
8.
Tidak diketahui identitasnya
(jahalah), disebut hadits mubham.
9.
Penganut bidah (sekte sempalan),
hadits dhaif yang rawinya penganut bidah disebut hadits mardud.
10.
Tidak baik hafalannya, disebut hadits
syadz dan mukhtalith.
Kedua : Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
1.
Yang digugurkan sanad pertama,
disebut hadits muallaq.
2.
Yang digugurkan sanad terakhir
(sahabat), disebut hadits mursal.
3.
Yang digugurkan dua orang rawi atau
lebih berturut-turut, disebut hadits mudlal.
4.
Yang digugurkan tidak
berturut-turut, disebut hadits munqathi.
b.
Dari jurusan matan, dibagi dua :
1.
Hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada
perkataan sahabat tidak sampai kepada Nabi, misalnya Berkata Umar ..
2.
Hadits maqthu, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada
perkataan tabiin, misalnya, Berkata Said Ibn Musayyab ..
Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan
(sanad)
a.
Hadits Mutawatir
b.
Hadsis Masyhur
c.
Hadits Ahad
-
hadits azis
-
hadits gharib
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak
orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat
hadits mutawatir :
1.
Hadits yang diriwayatkan berdasarkan
pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman
atau dugaan.
2.
Jumlah rawi-rawinya harus mencapai
bilangan yang mampu mencapai ilmudl-dlarury (meyakinkan).
3.
Ada keseimbangan antara rawi-rawi
dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya
ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5
orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabiit-tabiin maka hadits
tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak
seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal
adalah kitab Al-Azharul Mutanatsirah fil Akhbari Mutawatirah, karya Imam As
Suyuthi (911 H).
Hadits mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni
meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh
hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qothi (pasti). Rawi-rawi
hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan
kedlabithannya.
Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi
yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja.
Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak
dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits
mensyaratkan minimal 3 orang perawi.
Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan)
ayat Al-Quran yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang
belum terdapat dalam Al-Quran. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits
masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.
Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Quran
dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits
ahad untuk mentakhsis ayat Al-Quran.
Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh
orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab
yang menjadikannya masyhur.
Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri
dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.
Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang
rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : Jangan kamu mencatat hadits
hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada
umumnya berasal dari orang-orang lemah.
Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
a.
Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap
hadits marfu yang sanadnya bersambung
b.
Hadits Muttashil/Maushul, yaitu hadits
yang bersambung sanadnya, ada yang marfu, mauquf atau maqthu
5.2. Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits
A. Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan
keyakinan secara ilmul-dlarury.
B.
Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat dijadikan
pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Quran yang umum (Am)
C.
Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi,
apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat
diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan itiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan
menasakh ayat Al-Quran.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan
menasakh Al-Quran jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua
hadits ahad untuk men takhsish Al-Quran.
D.
Hadits Dhaif
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dhaif,
terbagi dalam 3 pendapat :
a.
Melarang secara mutlak , itu
pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b.
Membolehkan, yaitu bila dhaifnya
tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong
berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara
mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram,
akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy,
Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan
hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi
bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah
sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya
Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan
hadits dhaif untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1.
Hadits Dhaif yang tidak terlalu.
Dhaif yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak dapat
dijadikan hujjah.
2.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits
tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih
sahih.
3.
Dalam mengamalkannya tidak meng
itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya
mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).
E.
Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan
sahabat. Jadi perawi tabiin tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan
hadits kepadanya.
Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat ,
baik tabiin atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan hadits
munqathi, bila dua orang yang gugur disebut hadits mudlal.
Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat,
sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dhaif, sebagian menerima dan
menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits
mursal tapi dengan syarat;
Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng
irsal kan itu sahabat atau tabiin. Irsal yang sesudah tabiit-tabiin ditolak.
Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang yang
kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafiii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan
Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari
pada menerima hadits mursal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar