Social Icons

.

Jumat, 22 Maret 2013

PENGERTIAN TENTANG ISTISHAB

    PENGERTIAN TENTANG ISTISHAB

Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan dengan teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.
Sedangkan menurut Hasby Ash-Shidiqy 1
ابقاء ما كا ن على ما كا ن عليه لا نعدام الغير(اعتقا دكون
الشىء فى الما ضى اوالحا ضر يوجب ظن ثبو ته فىالحال والاستقبا ل
’Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada,karena tidak ada yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang belum di yakini.
Definisi lain yang hampir sama dengan itu dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,beliau adalah tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu : menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. 2
ثبت ماكان ثابتاونفي ماكان منفيا استخدامة
“Mengukuhkan/menetapkan apa yang pernah di tetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.”3
Menurut Asy-Syaukani menta’rifkan Istishab dengan “tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya4 dalam Irsyad Al-Fuhul nya merumuskan
ان ما ثبت فى الزما ن ا لما ضى فالاصل بقاؤه فى الزما ن  المستقبال
”Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu ,pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.”5
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Ridho Mudzaffar dari kalangan Syi’ah,yaitu : ابقاء ما كا ن (mengukuhkan apa yang pernah ada) dan menurut Ibn As-Subki dalam kitab Jam’u Al-Jawani jilid II Istishab Yaitu :6
ثبوت امرفى الثانى لثبوته فى الاول لفقدان مايصلح للتخيير
“Berlakunya sesuatu pada masa kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang aptut untuk mengubahnya.”
Sedangkan menurut istilah ahli Ushul Fiqh “menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya,sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut”.Al-Ghazali mendefinisikan Istishab adalah berpegang pada dalil akal atau Syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui dalil,tetapi setelah melalui pembahasan dan penelitian cermat ,diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.
Menurut Ibn Qayyim Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada nya hukum suatu peristiwa yang belum penah ditetapkan hukumnya.Sedangkan definisi Asy-Syatibi adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Contoh Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama 15 tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisa menikah lagi karena ia masih terikat tali perkawinan dengan Muhammad dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah :
الاصل فى الاشياءالاباحة
Artinya :”Pangkal sesuatu adalah kebolehan”
Kebolehan adalah pangkal (asal) meskipun tidak ada dalil yang menunjukan atas kebolehannya,dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah :129
هوالذي خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya :”Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” .7
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka. 8
Dalam hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu di bumi seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan perubahan nya,maka sesuatu itu tetap pada kebolehannya yang asli.

    MACAM-MACAM ISTISHAB
Istishab terbagi dalam beberapa macam diantaranya :
    Istishab al-baraah al-Ashliyyah (البرءةالاصلية)
Menurut Ibn al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam al-Ashliyyah (براةالعدم الاصلية)
Seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapakan Taklifnya.9
    Istishab al-ibahah al-ashliyah
yaitu Istishab yang berdasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang Mubah.Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah.Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan ,hulum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari selama tidak ada dalil yang melarangnya,seperti makanan,minuman,hewan dll.Prinsip ini berdasarkan ayat 29 surat al-baqarah
هوالذي خلق ما في الارض جميعا (البقرة 2: 29)
Artinya :”Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”
    Istishab al-hukm
yaitu Istishab yang berdasarkan pada tetapnya status hukum yang telah ada selam tidakada sesuatu yang mengubahnya.Misalnya seseorang yang telah melakukan akad nikah akan selamanya terikat dalam jalinan suami istri sampai ada bukti yang menyatakan bahwa mereka telah bercerai.
    Istishab Wasaf
Setiap Fuqaha menggunakan Istishab dari a sampai c sedang mereka berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbaliyah menggunakan Istishab ini secara mutlaq.
Dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru. Tapi untuk Malikiyah hanya menggunakan yang Wasaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada.
Sedangkan untuk yang baru tidak mau dipakai Istishab yang dipakai oleh Ulama’ Hanafiyah adalah “Lidaf’I Li Itsbt”.(لدفع لالاءثبا ث)10
Para Ulama’ yang menyedikitkan Turuqul Istinbat meluaskan penggunaan Istishab ,misal golongan Dhahiri,karena mereka menolak penggunaan Qiyas.Demikian pula Madhabz Syafi’I menggunakan Istishab kerena tidak menggunakan Istihsan beliau menggunakannya sebagai alat untuk menetapkan hukum.

Berdasarkan Istishab ,beberapa prinsip Syara’ dibangun ,yaitu :
الاصل فىالاشياءالاءباحة
Asal segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)
الاصل فىالاء نسان البراء ة
Asal pada manusia adalah kebebasan
الاصل براء ةالذ مة
(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan
اليقين لايزال با شك
(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (terhapus) oleh hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.
الاصل بقاء ما كا ن على ما كا ن حتى يثبت ما يغيره
Asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula,sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.
Yang sedikit menggunakan Istishab adalah Madhabz Hanafi dan Maliki karena mereka meluaskan Thurkq al-Istinbat dengan penggunaan Istihsan ,Maslahah Mursalah dan ‘Urf.Sehingga ruang untuk beristimbat dengan Istishab tinggal sedikit.
Istishab dibagi menjadi lima macam,yaitu :
    Istishab hukm al-ibahah al-ashliyah
Menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh,selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
    Istishab yang menurut akal dan Syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus
    Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan Isatishab dengan Nash selama tidak ada dalil yang Naskh (yang membatalkannya)
    Istishab hukum akal sampai datangnya hukum Syar’i
    Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan Ijma’ ,tetapi keberadaan Ijma’ diperselisihkan.
    PENDAPAT ULAMA’ TENTANG ISTISHAB
Ulama’ Hanafiah menetapakan bahwa Istishab merupakan Hujjah untuk menetapkan apa-apa yang di maksud oleh mereka.Jadi Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada semula dan juga mempertahan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.11
Istishab bukanlah Hujjah untuk menetapka sesuatu yang tidak tetap telah di jelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau tidak di ketahui tempat tinggalnya.Istishab yang menentukan atau menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dengan kematiannya.
وسخرلكم ما في لسموا ت وما في الارض جميعا
 “Dan Ia telah memudahkan tiap-tiap yang di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya” (Al-Jatsiyyah : 13)
    KEHUJJAHAN ISTISHAB
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak ada dalil Syara’ yang menjelaskannya,antara lain :12
    Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan dalil,karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang,harus berdasarka dalil.
    Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin Istishab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang,tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
    Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus,karena diduga keras belum ada perubahanya.
Istishab Al-Bara’at Al-Ashliyati
Akal menetapakan bahwa dasar hukum pada segala hukum yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu,kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya.Oleh karena itu, muncul Kaidah Kulliyah menetpakna : Dasar hukum itu adalah terlepas kita dari tanggung jawab.
Istishab Al-Umumi

Suatu Nash yang umu mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu Nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan Takhsish.
Atau sesuatu ukum yang umum,tidaklah dikecualikan sesuatupun dari padanya melainkan dengan ada sesuatu dalil yang khusus.
Istishab An-Nashshi
Suatu dalil (Nash) terus menerus berlakunya sehingga di Nasahkh kan oleh sesuatu Nash yang lainya.
Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti
Sesuau yang tekah diyakini adanya,atau tidak adanya dimasa lalu tetaplah dihukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut juga dengan Istishhabul Madhi Bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai sekarang.
Dasar Istishab ini berdasarkan pada Kaidah Kulliyah Yang berbunyi : “Dasar hukum adalah kekal apa yang telah ada pada huklum yang telah ada Atau apa yang telah diyakini adanya pada suatu masa dihukkumi tetap adanya (selama belum ada dalil yang mengubahanya.
    ANALISIS
Jika hukum Istishab ini kita lihat sekilas tanpa kita pahami,maka akan ada banyak perbedaan dikalangan muslim satu dengan lainnya dalam mengambil sikap untuk menentukan suatu hukum.Bukankah ini akan menimbulkan perpecahan dalam islam?
Perbedaan pendapat untuk menentukan hukum dalam Fiqih itu hal yang biasa,karena dasarnya Akal bukan wahyu, tidak mengikat untuk seluruh umat islam dan sifatnya “Dhonni”.Perpecahan terjadi bukan karena perbedaan pendapat tetapi karena manusianya yang belum paham tentang fiqih.

    KESIMPULAN

Setelah membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami ambill kesimpulan bahwa Istishab dapat digunakan sebagai dasar hukum setelah Al-qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh”
Selama belum ada dalil yang merubah ketetapan hukum tersebut,maka sesuatu itu tetap dihukumi boleh.Dengan catatan selama tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005
Efendi Satria, Ushul Fiqh,
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,2005
Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung :  CV Pustaka Setia, cet-1 1999
1 Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah,2005
2 Djazuli Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005
3 I bid 143
4 Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999
5 Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah,2005
6 Jumantoro………..143
7 Djazuli Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005
8 Efendi Satria Ushul Fiqh Halaman 159
9 Djazuli Ilmu Fiqh, Jakarta : Prenada Media, cet-5 2005
10 Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999
11 Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung :  CV Pustaka Setia,cet-1 1999
12 Jumantoro Totok Kamus Ilmu Ushul Fikih hlm 146,Amzah,2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar