Sebagai Landasan Aqidah
Otoritas
Alhadis sebagai sumber ajaran Islam baik yang berkaitan dengan
persoalan aqidah, hukum, akhlak dan sebagainya sudah menjadi keyakinan
kaum muslimin. Namun demikian, dinamika perkembangan wacana pemikiran
tentang hadis, sering diwarnai dengan munculnya keraguan bahkan
penolakan terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah
Alquran. Imam Asy-Syafi’i menyebut adanya kelompok munkir as-sunnah atau inkar as-sunnah.
Mereka adalah kelompok yang menolak hadis secara keseluruhan, atau
menolak hadis yang tidak didukung oleh keterangan ayat Al-quran atau
menolak hadis yang berkategori ahad.
Terlepas dari kontroversi mengenai klaim inkarus sunnah atau bukan, diskursus mengenai status dan otoritas hadis ahad sebagai hujjah
dalam persoalan akidah perlu dikaji lebih lanjut. Persoalan ini penting
mengingat banyak masalah dalam aqidah seperti keyakinan adanya siksa
kubur, pertanyaan munkar dan nakir, telaga (al-Haudh), syafaat
Rasulullah, munculnya Dajjal dan turunnya Isa al-Masih dan sebagainya,
seringkali digugat karena diduga hadis-hadisnya berstatus ahad.
Sementara, ada klaim bahwa para ulama sepakat; hadis-hadis ahad tidak
bisa dipakai dalam masalah aqidah dan hal-hal ghaib. Bahkan, ada yang
menegaskan bahwa haram hukumnya menjadikan hadis-hadis ahad sebagai
landasan dalam masalah keyakinan atau aqidah.
Menurut DR. Yusuf Al-Qorodhowy, perdebatan tentang otoritas hadis ahad sebagai hujjah
dalam masalah akidah disebabkan dua hal pokok, yaitu apakah hadis ahad
yang shahih berfaidah ilmu dan menghasilkan keyakinan atau ia hanya zhan yang rojih saja? Kedua, apakah dalil yang zhan dapat dijadikan sumber penetapan masalah aqidah atau haruslah dari sesuatu yang pasti dan sangat meyakinkan?. Dalam
tulisan ini akan dibahas jawaban atas kedua permasalahan tersebut yang
dimulai dengan pengertian hadis mutawatir dan ahad serta problem
kategorisasinya.
Pengertian dan Kategorisasi hadis Mutawatir dan Ahad
Menurut
jumlah transmiter (penyampainya), hadis secara global dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: hadis mutawatir dan Ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada
semua tabaqat (tingkatan) sanad yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dalam meriwayatkannya. Hadis dalam kategori mutawatir baik secara lafdzi (redaksional) maupun maknawi (substansial) ataupun mutawatir ‘amaly (perilaku aktual yang diwariskan kaum muslimin dari Nabi SAW dan menjadi ijma’ sahabat).[1]
Adapun hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir.
Hal ini dilihat dari kuantitas perawi yang jumlahnya tidak mencapai
standar jumlah perawi yang hadis mutawatir. [2]
Pembedaan
hadis antara yang ahad dan mutawatir belum muncul pada masa Rasulullah
dan para sahabat. Para sahabat menerima hadis dari seseorang yang
meriwayatkan kepada mereka setelah jelas status dan kredibilitas
penyampainya.[3]
Pembedaan tersebut muncul pada masa tabi’in dan sesudahnya. Menurut
Ibnu Hazm, seluruh umat Islam menerima hadis dari satu orang yang
terpercaya hingga datangnya para ahli ilmu kalam Mu'tazilah yang
mengambil sikap berbeda. [4]
Di
luar studi hadis, munculnya diskursus kategorisasi hadis menjadi
mutawatir dan ahad, minimal dipengaruhi dua hal; pertama, masalah aqidah
yaitu pengaruh perdebatan ulama tentang beberapa masalah dalam ilmu
kalam dan pemikiran filsafat. Dalam perspektif beberapa ahli hadis
kategorisasi demikian diperlukan untuk menghindari pengkafiran dari
kelompok yang ghuluw (ekstrim) terhadap orang yang masih ragu dalam menerima argumentasi dengan hadis ahad dalam masalah akidah.[5] Kedua, masalah fikih dan ushulnya yaitu perdebatan tentang otoritas hadis ahad yang sebagai zhaniyah tsubut dalam me-naskh hukum yang tersebut dalam ayat Alquran yang statusnya qath’iyuts tsubut.
Berikutnya,
penetapan suatu hadis termasuk hadis ahad ataukah mutawatir juga
menjadi ajang perdebatan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan minimal
tiga faktor. Pertama, tidak adanya patokan jumlah perawi
yang disepakati sebagai angka minimal suatu hadis disebut mutawatir.
Penetapan mengenai batasan jumlah tertentu perawi yang menjadi syarat
atau standar mutawatir memang cukup riskan sehingga menjadi ajang
ikhtilaf di antara para ulama. Hal ini pula yang mempengaruhi
penghitungan berapa sebenarnya jumlah hadis nabi yang mutawatir.
Sebagian ulama ada yang memberikan ketentuan kuantitas perawi untuk
mencapai derajat mutawatir yaitu harus berjumlah 4 orang, 12 orang, 40
orang, 70 orang atau 313 orang dan lain-lain dalam tiap tabaqahnya.
Bahkan mereka cenderung mencari-cari dasar ketentuan jumlah tersebut
dari ayat-ayat Alquran. [6]
Bagi
sebagian ulama hadis yang enggan untuk terlalu mempermasalahkan
penerimaan hadis shohih dari tinjuan jumlah sanad mutawatir berpendapat
bahwa ketersambungan sanad (ittishal as-sanad) hadis, kualitas ke-tsiqoh-an perawi yang teruji baik dari segi ‘adalah maupun dhabith-nya, dan terbebasnya sanad dan matan hadis dari shadz dan ‘illah, cukup sebagai dasar untuk menetapkan keyakinan kebenaran periwayatannya.
Penentuan
jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis
mengingat perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil.
Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang
lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot kesahihan hadis yang
diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila penetapan
standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit dilakukan.
Faktor
kedua adalah penentuan apakah yang dimaksud hadis mutawatir harus
terpenuhi pada semua tabaqat termasuk pada tabaqat sahabat atau dimulai
sejak tabaqat tabi’in (setelah sahabat). Sebab, jumlah hadis mutawatir
yang kemutawatirannya sejak tabaqat sahabat sangat sedikit dibanding
hadis ahad. Sebagian besar hadis nabawi yang dimulai sebagai hadis ahad
pada masa sahabat lalu menjadi mutawatir pada masa tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan seterusnya. [7]
Faktor ketiga adalah tingkat kemampuan/kecermatan penelitian dan penghimpunan terhadap semua thuruq sanad
hadis dengan lafadz ataupun makna yang sama. Hal ini penting untuk
memastikan suatu hadis yang berkaitan dengan keyakinan/aqidah tersebut
apakah betul-betul ahad dan gharib secara makna ataukah ada banyak hadis
lain sebagai penguatnya (hadis ahad dengan ta’adud thuruq sebagai al-i’tibar yang berbentuk syaahid atau mutaabi’). Hal ini juga terkait dengan realitas bahwa hadis-hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak daripada yang lafdzhi. Sementara dalam penilaian, sering kali hadis mutawatir maknawi dianggap sebagai hadis ahad,[8] karena tidak dilakukannya penelitian yang cermat sebelumnya.
Dengan demikian, Seseorang perlu berhati-hati dalam menetapkan suatu hadis sebagai hadis ahad dengan menelitinya dan mengecek (takhrij al-Hadis)
lebih lanjut dalam kitab-kitab hadis. Aktivitas tersebut menuntut
penguasaan yang seluas-luasnya terhadap kitab-kitab referensi yang tidak
hanya terbatas pada kutub tis’ah apalagi hanya dengan kutub as-sittah. Dengan tersedianya referensi kitab-kitab hadis dalam jumlah yang melimpah pada masa sekarang termasuk makhthuthaat (manuskrip-manuskrip), memungkinkan terjadinya perbedaan penetapan status ahadnya suatu hadis. Sehinggga boleh jadi seorang ulama
terdahulu—yang mungkin dengan keterbatasan referensi—menetapkan suatu
hadis adalah ahad padahal setelah diteliti adalah hadis mutawatir. [9]
Apakah hadis Ahad merupakan sumber ilmu yang yakin dan pasti?
Para ulama telah sepakat bahwa hadis mutawatir bersifat qath’i tsubut, yufid al-‘llm adh-dharury (kebenaran yang pasti dan diyakini secara langsung tanpa perlu penelitian lebih lanjut), dan
kebenarannya sederajat dengan kebenaran empiris, sehingga wajib
diamalkan. Bahkan menurut Mahmud thahhan, orang yang menolak
kebenarannya dikafirkan. [10]
Adapun mengenai hadis Ahad, menurut Yusuf Al-Qorodhawy, [11]
ulama terbagi dalam tiga kelompok pendapat tentang status tingkat
kepastian kebenaran dan keyakinan terhadapnya. Pendapat pertama, secara
mutlak hadis ahad tidak menghasilkan ilmu yang pasti benar, baik hadis
itu didukung oleh qarinah (indikasi tertentu yang
menguatkan) ataupun tidak. Pendapat ini menjadi mazhab jumhur ahli
ushul, ahli ilmu kalam dan juga menjadi madzhab tiga imam, yaitu Abu
Hanifah, Malik dan Syafi’i. Walau demikian mereka berpendapat bahwa
hadis ahad yufidu wujub amal (wajib diamalkan). Sebab, dalil wajibnya suatu amal tidak diharuskan bersumber dari ilmu al-yaqin tapi cukup dengan zhan yang rajih
(terkuat argumennya). Imam al-Ghozali menafsirkan pendapat ahli hadis
bahwa wajibnya amal merupakan konseksensi adanya faidah ilmu karena zhan disebut pula dengan ilmu.
Adapun pendapat kedua, secara mutlak hadis ahad menghasilkan ilmu yang pasti benar, walau tanpa adanya qarinah.
Ia wajib diamalkan karena amal tidak bisa dipisahkan dari ilmu.
Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad, Dawud adh-Dzhahiri, al-Haris
Al-Muhasibi, dan jumhur ahli hadis. Sementara pendapat ketiga menyatakan
bahwa hadis ahad menghasilkan ilmu yang pasti benar, jika didukung oleh
sejumlah qarinah. Hadis ahad menghasilkan al-‘ilm an-nazhari (kebenaran ilmu secara teoritis) yaitu kebenaran ilmu, bergantung atas hasil penelitian dan pembahasan yang argumentatif.[12] Pendapat
ini diyakini oleh Sekelompok ulama ushul, ulama kalam dan ulama hadis.
Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu As-sholah dan orang yang sepakat
dengan beliau seperti Ibnu Hajar Al-Asqolani.
Menurut
Al-Qorodhowy ranah perdebatan dapat dicari titik temunya yang
disepakati pada dua aspek yaitu (1) pentingnya sumber yang pasti dan
meyakinkan dalam masalah aqidah dan (2) hadis ahad tanpa qorinah
tidak menghasilkan keyakinan. Dua Hal ini merupakan asumsi dasar yang
menjadi jalan tengah yang moderat (al-Inshaf) dan menjadi titik awal
untuk mencari solusi bagi perbedaan pendapat di atas.
Adapun
dalam ranah praktis, menurut Ajjaj al-Khatib, perbedaan tersebut tidak
berimplikasi pada perbedaan kongklusi dan hasil akhir pemikiran karena
semua ulama sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadis ahad, bila telah
memenuhi syarat sebagai hadis yang berterima (shahih atau hasan). [13]
Diskursus tentang Hadis Ahad dalam masalah Aqidah
Secara
umum, status hadis shahih walaupun ahad sebagai sumber hukum dalam
penetapan masalah hukum-hukum praktis dan panduan akhlak, dapat
diterima. Yang menjadi masalah adalah tentang status hadis ahad sebagai sumber penetapan dalam masalah akidah.
Berangkat
dari definisi aqidah sebagai pembenaran yang pasti yang sesuai dengan
realita atas dasar dalil. Pihak yang menolak hadis ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah berpendapat bahwa sesuatu yang dijadikan sebagai aqidah haruslah berupa kebenaran yang pasti (jazm). Aqidah
tidak bisa berlandaskan pada sesuatu yang masih dzhan (praduga).
Pendapat ini dikuatkan dengan larangan dan celaan Allah SWT bagi orang
yang menuruti persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah, misalnya dalam Al-Quran surat An-Najm: 28, Al-Jatsiyah: 24, Yunus: 36, An-Nisa’: 157, dan Al-An’am: 148.
Adapun
argumen yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan hadis ahad
dalam masalah aqidah, antara lain: Pertama, diutusnya nabi seorang diri
pada suatu kaum menunjukkan tegaknya hujjah Allah SWT
kepada hamba-Nya baik dalam masalah aqidah maupun ibadah yang
disampaikan satu orang periwayat. Demikian pula, Rasulullah SAW pernah
mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman seorang diri untuk menjelaskan
tentang ajaran Islam baik yang menyangkut akidah maupun ibadah. (HR.
Bukhari-Muslim).[14]
Realita historis umat Islam yang ada pada generasi awal Islam yang
biasa menerima khabar/hadis dari seorang perawi dan berpegang dengannya.
Hal ini menjadi pegangan mayoritas ulama dan umat Islam sebagaimana
ditunjukkan oleh refererensi awal seperti yang ditulis Imam Syafi’i
Kedua,
tidak ada dikotomi berupa batas yang tegas antara keyakinan dan amal
pada diri seseorang, sebab amal bergantung niat dan keyakinan. Dengan
demikian pendapat yang menyatakan masalah akidah tidak boleh bersandar
pada hadis ahad sementara ibadah hukumnya boleh, tidak dapat diterima.
Argumen yang disampaikan oleh penolak hadis ahad sebagai sumber akidah
berdasarkan larangan dan celaan Allah SWT bagi orang yang menuruti
persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah (misalnya dalam
QS. An-Najm: 28), sementara menerima hadis ahad sebagai landasan amal
adalah sikap tidak konsisten, sebab ada ayat lain menyebutkan tidak
bolehnya mengikuti zhan dalam persoalan ibadah.[15] Bagi pendukung hadis ahad sebagai landasan akidah memahami ayat larangan tersebut adalah model zhan(persangkaan)nya orang-orang musyrik yang didasari sikap mengikuti hawa nafsu, dan berpendapat tentang Allah tanpa landasan ilmu dan kitab yang jelas.[16]
Ketiga, pemakaian kata zhan yang memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin. Sebagian pakar bahasa menyatakan bahwa zhan adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan menghukuminya[17]. Menghukumi yaitu jika zhan itu lemah disebut waham, takharrus atau takhmim. Jika zhan itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin[18]. Dalam Alquran terdapat kata zhan yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46).[19] Menurut ulama tafsir antara lain Ash-Shabuni, zhan dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan[20]. Demikian pula, zhan yang berkaitan dengan hadis ahad yang shohih adalah zhan
yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda
Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian penelitian. Sementara
menolak berhujjah dengannya berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa hadis itu.[21]
Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah didasarkan
pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhan) itu sendiri.
Keempat, banyak ayat yang menunjukkan bahwa khabar Ahad yang dibawa satu orang merupakan hujjah dalam masalah agama, baik masalah akidah maupun hukum, di antaranya QS. At-Taubah: 122. Dalam ayat ini disebut kata thaifah yang berarti sekelompok orang dan bisa juga digunakan untuk satu orang berdasarkan QS. Al-Hujurat: 9.[22] Prosedur tabayyun (pengecekan) dan tatsabbut (recek)
dalam menerima berita sebagaimana yang diajarkan oleh Allah SWT dalam
QS. Al-Hujurat:6 dapat menghasilkan ilmu dan keyakinan, walaupun pembawa
beritanya seorang yang fasik. Apalagi jika kredibilitas (‘adalah) dan kapabilitas (dhabith)
orang atau periwayat tersebut telah teruji. Dengan demikian, jumlah
(kuantitas) perawi bukanlah pokok ukuran kebenaran berita. Contoh yang
paling jelas adalah kisah Tamim ad-Dari ra yang menceritkan tentang
Dajjal dan jassasah kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW menerima dan meyakini khabar yang terkait masalah akidah itu. Imam Nawawi berkomentar tentang hadis itu: “Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang”.[23]
Hadis Rasulullah Nadhara Allahu imra an sami’a maqalati fahafidzaha wa wa’aaha wa addaaha kama sami’aha (semoga
Allah memberi kebaikan pada seseorang yang mendengar sabdaku lalu ia
menghafalnya dan memahaminya lalu menyampaikannya seperti yang ia
dengar)[24] mengindikasikan bahwa satu orang (imra an) yang meriwayatkan hadis dari Nabi baik masalah aqidah atau hukum dapat diterima dan diyakini.
Melacak Solusi
Menurut
penelitian DR. Yusuf al-Qarodhawy, permasalahan mendasar sebenarnya
adalah apa yang dimaksud dengan “akidah” dalam konteks pembahasan ini?
Jika akidah yang dimaksud adalah hal-hal yang berkenaan dengan
pokok-pokok atau dasar-dasar akidah dan rukunnya seperti eksistensi
(wujud) Allah yang Esa, yang tidak sesuatupun yang serupa dengannya
dstnya, Muhammad adalah utusan Allah dan penutup para nabi dan rasul,
iman kepada hari kebangkitan (kiamat) adanya surga dan neraka, adanya
malaikat dan seterusnya, maka telah ditetapkan oleh nash Alquran yang
pasti kebenarannya dan telah disepakati oleh kaum muslimin serta menjadi
ajaran Islam yang menjadi bagian yang al-ma’lum min ad-din bi adh-dharurat (yang umum dan pasti ketahui). Fungsi hadis dalam hal ini adalah untuk taqrir (mengulang penjelasan), ta’kid (menegaskan) dan tafshil (merinci).
Adapula masalah akidah yang furu’
(cabang) yang berkaitan dengan hal yang ushul di atas, seperti adanya
pertanyaan malaikat di kubur, adanya siksa dan nikmat dalam kubur, ru’yah
(melihat) Allah di akhirat, syafa’at bagi pelaku dosa besar, adanya
jembatan dan timbangan amal dan seterusnya. Masalah tersebut tidak
diungkapkan dalam Alquran secara ekspilisit (qath’i dhilalah)
tetapi disebutkan dalam hadis-hadis yang shahih. Hal-hal tersebut,
menurut Al-Qorodhawy, tidak diperselisihkan lagi oleh ulama ahlu
as-sunnah dalam menetapkan kewajiban mengimaninya bersumber dalil-dalil
dari hadis Nabi yang shahih dan jelas petunjuknya. Imam Al-Haramain Abu
Al-Ma’ali al-Juwaini dan muridnya Imam al-Ghozali menambahkan syarat
yaitu hal yang disebut dalam hadis itu secara rasional, tidak mustahil
terjadi (al-imkan al-aqliy). Adapun jika ada orang yang menolak hadis
ahad sebagai landasan penetapan masalah akidah yang furu’iyah, tidaklah
dikafirkan, tetapi dihukumi sebagai ahlu bid’ah. [25]
Dengan
mengkaji sikap dasar dalam berinteraksi dengan hadis Nabi, maka dapat
disimpulkan bahwa faktor terpenting bukan hanya bersandar pada
kuantitasnya tetapi sempurnanya kepercayaan kepada kualitas perawi.
Mantapnya keyakinan dalam menerima hadis ahad bergantung pada penelitian
dan langkah-langkah ilmiah dalam menverifikasi otentisitas dan
validitas hadis oleh pakarnya. Jika faktor-faktor kesamaran yang
meragukan dapat dieliminir maka implikasinya adalah keyakinan semakin
bertambah kepada otentitas dan otoritas hadis tersebut. Tentunya, sikap
husnuzhan kepada perawi dan ulama hadis serta membatasi
diri untuk bersikap curiga (skeptis) jika tidak disertai bukti-bukti
yang kuat—sebab al-bayyinaat ‘ala al-muda’iy—perlu dikedepankan.
Menurut penulis, sikap yang moderat adalah tidak menolak semua hadis ahad sebagai hujjah
dalam masalah aqidah ataupun menerimanya secara mutlak. Namun menerima
dengan sejumlah persyaratan; (1) hadis tersebut telah memenuhi semua
persyaratan sebagai hadis shohih, (2) status ahadnya hanya terjadi pada thabaqat Sahabat dan menjadi masyhur atau mutawatir pada tabaqat berikutnya,[26] (3) hadis tersebut telah dibenarkan (al-tashdiq)
keshohihannya oleh ijma’ atau minimal oleh jumhur ulama ahli hadis
sebagai orang yang pakar dan profesional dalam bidangnya, misalnya hadis
dalam kitab shohih Bukhari dan Muslim,[27] (4) kandungan makna (dilalah) hadis tersebut tidak bertentangan dengan keterangan Alquran yang qoth’i at-tsubut dan secara akal bersifat mumkinul wujud
atau tidak mustahil terjadi, (5) hadis tersebut diterima (maqbul) dan
maknanya dibenarkan secara massif oleh umat Islam, sebagaimana dalam
hadis disebutkan: la tajtami’u ummati ‘ala dhalalatin (umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan).[28]
Dengan
persyaratan di muka maka hadis-hadis yang ahad yang walaupun tidak
mencapai kriteria mutawatir—apalagi jika kriteria mutawatirnya dengan
jumlah yang ekstrim seperti berjumlah 70 atau 313 perawi tiap
tabaqat—tidak lagi berfaidah dzanny al-wurud namun dapat dipastikan memberikan faidah qath’iy al-wurud (pasti benarnya dari Nabi), dapat dipastikan otoritas kebenaran kandungan pesannya (yufid al-‘ilm) seperti halnya hadis mutawatir. Dengan demikian, hadis tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam masalah aqidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar