Social Icons

.

Minggu, 09 Desember 2012

Hadis Ahad : Hujjah dalam Masalah Aqidah?

Otoritas Hadis Ahad
Sebagai Landasan Aqidah

Otoritas Alhadis sebagai sumber ajaran Islam baik yang berkaitan dengan persoalan aqidah, hukum, akhlak dan sebagainya sudah menjadi keyakinan kaum muslimin. Namun demikian, dinamika perkembangan wacana pemikiran tentang hadis, sering diwarnai dengan munculnya keraguan bahkan penolakan terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran. Imam Asy-Syafi’i menyebut adanya kelompok munkir as-sunnah atau inkar as-sunnah. Mereka adalah kelompok yang menolak hadis secara keseluruhan, atau menolak hadis yang tidak didukung oleh keterangan ayat Al-quran atau menolak hadis yang berkategori ahad.
Terlepas dari kontroversi mengenai klaim inkarus sunnah atau bukan, diskursus mengenai status dan otoritas hadis ahad sebagai hujjah dalam persoalan akidah perlu dikaji lebih lanjut. Persoalan ini penting mengingat banyak masalah dalam aqidah seperti keyakinan adanya siksa kubur, pertanyaan munkar dan nakir, telaga (al-Haudh), syafaat Rasulullah, munculnya Dajjal dan turunnya Isa al-Masih dan sebagainya, seringkali digugat karena diduga hadis-hadisnya berstatus ahad. Sementara, ada klaim bahwa para ulama sepakat; hadis-hadis ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah dan hal-hal ghaib. Bahkan, ada yang menegaskan bahwa haram hukumnya menjadikan hadis-hadis ahad sebagai landasan dalam masalah keyakinan atau aqidah.
Menurut DR. Yusuf Al-Qorodhowy, perdebatan tentang otoritas hadis ahad sebagai hujjah dalam masalah akidah disebabkan dua hal pokok, yaitu apakah hadis ahad yang shahih berfaidah ilmu dan menghasilkan keyakinan atau ia hanya zhan yang rojih saja? Kedua, apakah dalil yang zhan dapat dijadikan sumber penetapan masalah aqidah atau haruslah dari sesuatu yang pasti dan sangat meyakinkan?. Dalam tulisan ini akan dibahas jawaban atas kedua permasalahan tersebut yang dimulai dengan pengertian hadis mutawatir dan ahad serta problem kategorisasinya.

Pengertian dan Kategorisasi hadis Mutawatir dan Ahad

Menurut jumlah transmiter (penyampainya), hadis secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: hadis mutawatir dan Ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua tabaqat (tingkatan) sanad yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dalam meriwayatkannya. Hadis dalam kategori mutawatir baik secara lafdzi (redaksional) maupun maknawi (substansial) ataupun mutawatir ‘amaly (perilaku aktual yang diwariskan kaum muslimin dari Nabi SAW dan menjadi ijma’ sahabat).[1] Adapun hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Hal ini dilihat dari kuantitas perawi yang jumlahnya tidak mencapai standar jumlah perawi yang hadis mutawatir. [2]
Pembedaan hadis antara yang ahad dan mutawatir belum muncul pada masa Rasulullah dan para sahabat. Para sahabat menerima hadis dari seseorang yang meriwayatkan kepada mereka setelah jelas status dan kredibilitas penyampainya.[3] Pembedaan tersebut muncul pada masa tabi’in dan sesudahnya. Menurut Ibnu Hazm, seluruh umat Islam menerima hadis dari satu orang yang terpercaya hingga datangnya para ahli ilmu kalam Mu'tazilah yang mengambil sikap berbeda. [4]
Di luar studi hadis, munculnya diskursus kategorisasi hadis menjadi mutawatir dan ahad, minimal dipengaruhi dua hal; pertama, masalah aqidah yaitu pengaruh perdebatan ulama tentang beberapa masalah dalam ilmu kalam dan pemikiran filsafat. Dalam perspektif beberapa ahli hadis kategorisasi demikian diperlukan untuk menghindari pengkafiran dari kelompok yang ghuluw (ekstrim) terhadap orang yang masih ragu dalam menerima argumentasi dengan hadis ahad dalam masalah akidah.[5] Kedua, masalah fikih dan ushulnya yaitu perdebatan tentang otoritas hadis ahad yang sebagai zhaniyah tsubut dalam me-naskh hukum yang tersebut dalam ayat Alquran yang statusnya qath’iyuts tsubut.
Berikutnya, penetapan suatu hadis termasuk hadis ahad ataukah mutawatir juga menjadi ajang perdebatan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan minimal tiga faktor. Pertama, tidak adanya patokan jumlah perawi yang disepakati sebagai angka minimal suatu hadis disebut mutawatir. Penetapan mengenai batasan jumlah tertentu perawi yang menjadi syarat atau standar mutawatir memang cukup riskan sehingga menjadi ajang ikhtilaf di antara para ulama. Hal ini pula yang mempengaruhi penghitungan berapa sebenarnya jumlah hadis nabi yang mutawatir. Sebagian ulama ada yang memberikan ketentuan kuantitas perawi untuk mencapai derajat mutawatir yaitu harus berjumlah 4 orang, 12 orang, 40 orang, 70 orang atau 313 orang dan lain-lain dalam tiap tabaqahnya. Bahkan mereka cenderung mencari-cari dasar ketentuan jumlah tersebut dari ayat-ayat Alquran. [6]
Bagi sebagian ulama hadis yang enggan untuk terlalu mempermasalahkan penerimaan hadis shohih dari tinjuan jumlah sanad mutawatir berpendapat bahwa ketersambungan sanad (ittishal as-sanad) hadis, kualitas ke-tsiqoh-an perawi yang teruji baik dari segi ‘adalah maupun dhabith-nya, dan terbebasnya sanad dan matan hadis dari shadz dan ‘illah, cukup sebagai dasar untuk menetapkan keyakinan kebenaran periwayatannya.
Penentuan jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit dilakukan.
Faktor kedua adalah penentuan apakah yang dimaksud hadis mutawatir harus terpenuhi pada semua tabaqat termasuk pada tabaqat sahabat atau dimulai sejak tabaqat tabi’in (setelah sahabat). Sebab, jumlah hadis mutawatir yang kemutawatirannya sejak tabaqat sahabat sangat sedikit dibanding hadis ahad. Sebagian besar hadis nabawi yang dimulai sebagai hadis ahad pada masa sahabat lalu menjadi mutawatir pada masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya. [7]
Faktor ketiga adalah tingkat kemampuan/kecermatan penelitian dan penghimpunan terhadap semua thuruq sanad hadis dengan lafadz ataupun makna yang sama. Hal ini penting untuk memastikan suatu hadis yang berkaitan dengan keyakinan/aqidah tersebut apakah betul-betul ahad dan gharib secara makna ataukah ada banyak hadis lain sebagai penguatnya (hadis ahad dengan ta’adud thuruq sebagai al-i’tibar yang berbentuk syaahid atau mutaabi’). Hal ini juga terkait dengan realitas bahwa hadis-hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak daripada yang lafdzhi. Sementara dalam penilaian, sering kali hadis mutawatir maknawi dianggap sebagai hadis ahad,[8] karena tidak dilakukannya penelitian yang cermat sebelumnya.
Dengan demikian, Seseorang perlu berhati-hati dalam menetapkan suatu hadis sebagai hadis ahad dengan menelitinya dan mengecek (takhrij al-Hadis) lebih lanjut dalam kitab-kitab hadis. Aktivitas tersebut menuntut penguasaan yang seluas-luasnya terhadap kitab-kitab referensi yang tidak hanya terbatas pada kutub tis’ah apalagi hanya dengan kutub as-sittah. Dengan tersedianya referensi kitab-kitab hadis dalam jumlah yang melimpah pada masa sekarang termasuk makhthuthaat (manuskrip-manuskrip), memungkinkan terjadinya perbedaan penetapan status ahadnya suatu hadis. Sehinggga boleh jadi seorang ulama terdahulu—yang mungkin dengan keterbatasan referensi—menetapkan suatu hadis adalah ahad padahal setelah diteliti adalah hadis mutawatir. [9]

Apakah hadis Ahad merupakan sumber ilmu yang yakin dan pasti?

Para ulama telah sepakat bahwa hadis mutawatir bersifat qath’i tsubut, yufid al-‘llm adh-dharury (kebenaran yang pasti dan diyakini secara langsung tanpa perlu penelitian lebih lanjut), dan kebenarannya sederajat dengan kebenaran empiris, sehingga wajib diamalkan. Bahkan menurut Mahmud thahhan, orang yang menolak kebenarannya dikafirkan. [10]
Adapun mengenai hadis Ahad, menurut Yusuf Al-Qorodhawy, [11] ulama terbagi dalam tiga kelompok pendapat tentang status tingkat kepastian kebenaran dan keyakinan terhadapnya. Pendapat pertama, secara mutlak hadis ahad tidak menghasilkan ilmu yang pasti benar, baik hadis itu didukung oleh qarinah (indikasi tertentu yang menguatkan) ataupun tidak. Pendapat ini menjadi mazhab jumhur ahli ushul, ahli ilmu kalam dan juga menjadi madzhab tiga imam, yaitu Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Walau demikian mereka berpendapat bahwa hadis ahad yufidu wujub amal (wajib diamalkan). Sebab, dalil wajibnya suatu amal tidak diharuskan bersumber dari ilmu al-yaqin tapi cukup dengan zhan yang rajih (terkuat argumennya). Imam al-Ghozali menafsirkan pendapat ahli hadis bahwa wajibnya amal merupakan konseksensi adanya faidah ilmu karena zhan disebut pula dengan ilmu.
Adapun pendapat kedua, secara mutlak hadis ahad menghasilkan ilmu yang pasti benar, walau tanpa adanya qarinah. Ia wajib diamalkan karena amal tidak bisa dipisahkan dari ilmu. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad, Dawud adh-Dzhahiri, al-Haris Al-Muhasibi, dan jumhur ahli hadis. Sementara pendapat ketiga menyatakan bahwa hadis ahad menghasilkan ilmu yang pasti benar, jika didukung oleh sejumlah qarinah. Hadis ahad menghasilkan al-‘ilm an-nazhari (kebenaran ilmu secara teoritis) yaitu kebenaran ilmu, bergantung atas hasil penelitian dan pembahasan yang argumentatif.[12] Pendapat ini diyakini oleh Sekelompok ulama ushul, ulama kalam dan ulama hadis. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu As-sholah dan orang yang sepakat dengan beliau seperti Ibnu Hajar Al-Asqolani.
Menurut Al-Qorodhowy ranah perdebatan dapat dicari titik temunya yang disepakati pada dua aspek yaitu (1) pentingnya sumber yang pasti dan meyakinkan dalam masalah aqidah dan (2) hadis ahad tanpa qorinah tidak menghasilkan keyakinan. Dua Hal ini merupakan asumsi dasar yang menjadi jalan tengah yang moderat (al-Inshaf) dan menjadi titik awal untuk mencari solusi bagi perbedaan pendapat di atas.
Adapun dalam ranah praktis, menurut Ajjaj al-Khatib, perbedaan tersebut tidak berimplikasi pada perbedaan kongklusi dan hasil akhir pemikiran karena semua ulama sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadis ahad, bila telah memenuhi syarat sebagai hadis yang berterima (shahih atau hasan). [13]

Diskursus tentang Hadis Ahad dalam masalah Aqidah

Secara umum, status hadis shahih walaupun ahad sebagai sumber hukum dalam penetapan masalah hukum-hukum praktis dan panduan akhlak, dapat diterima. Yang menjadi masalah adalah tentang status hadis ahad sebagai sumber penetapan dalam masalah akidah.
Berangkat dari definisi aqidah sebagai pembenaran yang pasti yang sesuai dengan realita atas dasar dalil. Pihak yang menolak hadis ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah berpendapat bahwa sesuatu yang dijadikan sebagai aqidah haruslah berupa kebenaran yang pasti (jazm). Aqidah tidak bisa berlandaskan pada sesuatu yang masih dzhan (praduga). Pendapat ini dikuatkan dengan larangan dan celaan Allah SWT bagi orang yang menuruti persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah, misalnya dalam Al-Quran surat An-Najm: 28, Al-Jatsiyah: 24, Yunus: 36, An-Nisa’: 157, dan Al-An’am: 148.
Adapun argumen yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan hadis ahad dalam masalah aqidah, antara lain: Pertama, diutusnya nabi seorang diri pada suatu kaum menunjukkan tegaknya hujjah Allah SWT kepada hamba-Nya baik dalam masalah aqidah maupun ibadah yang disampaikan satu orang periwayat. Demikian pula, Rasulullah SAW pernah mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman seorang diri untuk menjelaskan tentang ajaran Islam baik yang menyangkut akidah maupun ibadah. (HR. Bukhari-Muslim).[14] Realita historis umat Islam yang ada pada generasi awal Islam yang biasa menerima khabar/hadis dari seorang perawi dan berpegang dengannya. Hal ini menjadi pegangan mayoritas ulama dan umat Islam sebagaimana ditunjukkan oleh refererensi awal seperti yang ditulis Imam Syafi’i
Kedua, tidak ada dikotomi berupa batas yang tegas antara keyakinan dan amal pada diri seseorang, sebab amal bergantung niat dan keyakinan. Dengan demikian pendapat yang menyatakan masalah akidah tidak boleh bersandar pada hadis ahad sementara ibadah hukumnya boleh, tidak dapat diterima. Argumen yang disampaikan oleh penolak hadis ahad sebagai sumber akidah berdasarkan larangan dan celaan Allah SWT bagi orang yang menuruti persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah (misalnya dalam QS. An-Najm: 28), sementara menerima hadis ahad sebagai landasan amal adalah sikap tidak konsisten, sebab ada ayat lain menyebutkan tidak bolehnya mengikuti zhan dalam persoalan ibadah.[15] Bagi pendukung hadis ahad sebagai landasan akidah memahami ayat larangan tersebut adalah model zhan(persangkaan)nya orang-orang musyrik yang didasari sikap mengikuti hawa nafsu, dan berpendapat tentang Allah tanpa landasan ilmu dan kitab yang jelas.[16]
Ketiga, pemakaian kata zhan yang memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin. Sebagian pakar bahasa menyatakan bahwa zhan adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan menghukuminya[17]. Menghukumi yaitu jika zhan itu lemah disebut waham, takharrus atau takhmim. Jika zhan itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin[18]. Dalam Alquran terdapat kata zhan yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46).[19] Menurut ulama tafsir antara lain Ash-Shabuni, zhan dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan[20]. Demikian pula, zhan yang berkaitan dengan hadis ahad yang shohih adalah zhan yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa hadis itu.[21] Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhan) itu sendiri.
Keempat, banyak ayat yang menunjukkan bahwa khabar Ahad yang dibawa satu orang merupakan hujjah dalam masalah agama, baik masalah akidah maupun hukum, di antaranya QS. At-Taubah: 122. Dalam ayat ini disebut kata thaifah yang berarti sekelompok orang dan bisa juga digunakan untuk satu orang berdasarkan QS. Al-Hujurat: 9.[22] Prosedur tabayyun (pengecekan) dan tatsabbut (recek) dalam menerima berita sebagaimana yang diajarkan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat:6 dapat menghasilkan ilmu dan keyakinan, walaupun pembawa beritanya seorang yang fasik. Apalagi jika kredibilitas (‘adalah) dan kapabilitas (dhabith) orang atau periwayat tersebut telah teruji. Dengan demikian, jumlah (kuantitas) perawi bukanlah pokok ukuran kebenaran berita. Contoh yang paling jelas adalah kisah Tamim ad-Dari ra yang menceritkan tentang Dajjal dan jassasah kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW menerima dan meyakini khabar yang terkait masalah akidah itu. Imam Nawawi berkomentar tentang hadis itu: “Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang”.[23]
Hadis Rasulullah Nadhara Allahu imra an sami’a maqalati fahafidzaha wa wa’aaha wa addaaha kama sami’aha (semoga Allah memberi kebaikan pada seseorang yang mendengar sabdaku lalu ia menghafalnya dan memahaminya lalu menyampaikannya seperti yang ia dengar)[24] mengindikasikan bahwa satu orang (imra an) yang meriwayatkan hadis dari Nabi baik masalah aqidah atau hukum dapat diterima dan diyakini.

Melacak Solusi

Menurut penelitian DR. Yusuf al-Qarodhawy, permasalahan mendasar sebenarnya adalah apa yang dimaksud dengan “akidah” dalam konteks pembahasan ini? Jika akidah yang dimaksud adalah hal-hal yang berkenaan dengan pokok-pokok atau dasar-dasar akidah dan rukunnya seperti eksistensi (wujud) Allah yang Esa, yang tidak sesuatupun yang serupa dengannya dstnya, Muhammad adalah utusan Allah dan penutup para nabi dan rasul, iman kepada hari kebangkitan (kiamat) adanya surga dan neraka, adanya malaikat dan seterusnya, maka telah ditetapkan oleh nash Alquran yang pasti kebenarannya dan telah disepakati oleh kaum muslimin serta menjadi ajaran Islam yang menjadi bagian yang al-ma’lum min ad-din bi adh-dharurat (yang umum dan pasti ketahui). Fungsi hadis dalam hal ini adalah untuk taqrir (mengulang penjelasan), ta’kid (menegaskan) dan tafshil (merinci).
Adapula masalah akidah yang furu’ (cabang) yang berkaitan dengan hal yang ushul di atas, seperti adanya pertanyaan malaikat di kubur, adanya siksa dan nikmat dalam kubur, ru’yah (melihat) Allah di akhirat, syafa’at bagi pelaku dosa besar, adanya jembatan dan timbangan amal dan seterusnya. Masalah tersebut tidak diungkapkan dalam Alquran secara ekspilisit (qath’i dhilalah) tetapi disebutkan dalam hadis-hadis yang shahih. Hal-hal tersebut, menurut Al-Qorodhawy, tidak diperselisihkan lagi oleh ulama ahlu as-sunnah dalam menetapkan kewajiban mengimaninya bersumber dalil-dalil dari hadis Nabi yang shahih dan jelas petunjuknya. Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali al-Juwaini dan muridnya Imam al-Ghozali menambahkan syarat yaitu hal yang disebut dalam hadis itu secara rasional, tidak mustahil terjadi (al-imkan al-aqliy). Adapun jika ada orang yang menolak hadis ahad sebagai landasan penetapan masalah akidah yang furu’iyah, tidaklah dikafirkan, tetapi dihukumi sebagai ahlu bid’ah. [25]
Dengan mengkaji sikap dasar dalam berinteraksi dengan hadis Nabi, maka dapat disimpulkan bahwa faktor terpenting bukan hanya bersandar pada kuantitasnya tetapi sempurnanya kepercayaan kepada kualitas perawi. Mantapnya keyakinan dalam menerima hadis ahad bergantung pada penelitian dan langkah-langkah ilmiah dalam menverifikasi otentisitas dan validitas hadis oleh pakarnya. Jika faktor-faktor kesamaran yang meragukan dapat dieliminir maka implikasinya adalah keyakinan semakin bertambah kepada otentitas dan otoritas hadis tersebut. Tentunya, sikap husnuzhan kepada perawi dan ulama hadis serta membatasi diri untuk bersikap curiga (skeptis) jika tidak disertai bukti-bukti yang kuat—sebab al-bayyinaat ‘ala al-muda’iy—perlu dikedepankan.
Menurut penulis, sikap yang moderat adalah tidak menolak semua hadis ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah ataupun menerimanya secara mutlak. Namun menerima dengan sejumlah persyaratan; (1) hadis tersebut telah memenuhi semua persyaratan sebagai hadis shohih, (2) status ahadnya hanya terjadi pada thabaqat Sahabat dan menjadi masyhur atau mutawatir pada tabaqat berikutnya,[26] (3) hadis tersebut telah dibenarkan (al-tashdiq) keshohihannya oleh ijma’ atau minimal oleh jumhur ulama ahli hadis sebagai orang yang pakar dan profesional dalam bidangnya, misalnya hadis dalam kitab shohih Bukhari dan Muslim,[27] (4) kandungan makna (dilalah) hadis tersebut tidak bertentangan dengan keterangan Alquran yang qoth’i at-tsubut dan secara akal bersifat mumkinul wujud atau tidak mustahil terjadi, (5) hadis tersebut diterima (maqbul) dan maknanya dibenarkan secara massif oleh umat Islam, sebagaimana dalam hadis disebutkan: la tajtami’u ummati ‘ala dhalalatin (umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan).[28]
Dengan persyaratan di muka maka hadis-hadis yang ahad yang walaupun tidak mencapai kriteria mutawatir—apalagi jika kriteria mutawatirnya dengan jumlah yang ekstrim seperti berjumlah 70 atau 313 perawi tiap tabaqat—tidak lagi berfaidah dzanny al-wurud namun dapat dipastikan memberikan faidah qath’iy al-wurud (pasti benarnya dari Nabi), dapat dipastikan otoritas kebenaran kandungan pesannya (yufid al-‘ilm) seperti halnya hadis mutawatir. Dengan demikian, hadis tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam masalah aqidah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar